Minggu, 02 November 2008

Puisi-Puisi Afrizal Anoda

Puisi No. 271204
(Nanggroe II)

Mungkin inilah arti gurindam yang dinyanyikan Cut Qori’ah ketika kita kecil-kecil dulu, tentang ombak hitam dan lumpur menyapu tanah,
tentang daging yang melepuh dihisap laut,
tentang payau tidak lagi jadi sarang ikan,
tentang Ibu yang tidak lagi melahirkan,
Tangan wanita kurus hitam manis itu melenggok-lenggok,
jari-jemarinya mengangkang meraup wajah kita.

(Ibu ada di sana
menghitung beras yang tumpah ke tanah
Ayah diam di pojok beranda
menunggu angin Utara mengusir kantuknya.)

Cut Qori’ah yang kempot terus meracaukan gurindam
tentang burung terlambat terbang
tentang bau pasir bernanah
sambil menggoyang-goyang badannya yang kering
dan kedua kakinya
digari di pokok kelapa.

Minggu seusai pesta semalam,
di ujung laut burung Camar berebut angin,
matahari membelah ke atas ke bawah,
angin malas bergerak
sedangkan perahu tenggelam
di kaki Nanggroe.

Mungkin inilah arti gurindam yang dinyanyikan Cut Qori’ah ketika kita kecil-kecil dulu,
tentang lematang yang tak lagi bikin gatal ,
sewaktu mata ulun masih hitam di tengah putih
buih Andaman jadikan sesak raga peraga.


Puisi No. 080105
(Nangroe III)

Tak tampak Idah di ladang payau,
di kakinya ada anting-anting perak, selalu gemerincing parak siang
Serata tanah hanya ada tiang-tiang dan lumpur busuk
Tempat Idah dulu mengejar bayang-bayang.

Tak ada Inong di teratak bambu,
tempatnya menerawang, menghitung setiap lumpur luruh di kaki
Separuh umurnya dibalut luka rahim
kotor dan bau seperti ombak krueng singgah
di singkap jendela rumah panggung

Di batu hari,
ujung-ujung tangan saling mengacung ke langit
bayang-bayangnya saling bertelekan
teronggok serata tanah

(ketika menguping radio tadi siang, aku mendengar ada tembakan dari balik bukit ke arah teratak bambu Inong. Lalu beberapa panser meluncur ke sana, melindas serpihan-serpihan daging yang dikirim ombak tiga belas hari lalu.)

***

Angin pun mati
ketika singgah di rumah kami
waktu malam turun
malas.



Puisi No. 110405
(Umur Berumur)

Kali ini kita bicara tentang turunan di rumah-rumah petak,
sambil menghitung anak-anak tangga,
dan biarkan gerimis menghapus jejak,
toh tak jauh lagi sampai ke ujung,
siapa yang perduli pada nama,
apalagi tulang yang pernah terbeliut pada tungkai,
kita terus turun, biarkan punggung basah keringat.

Ingat kita pada dawai di lidah,
getarannya hanya sedikit,
lembab,
bikin sesak di tenggorokan.
pada tanjakan yang pernah kita langkahi.

Pernahkah kita saling menjemput ketika ada yang lupa
waktu sengat matahari masih pedih ke kulit,
apa ada peduli masa itu?

Itulah sebabnya kita basuh semua nama di mulut,
yang pernah terucapkan dalam hati,
yang pernah terpaku dalam-dalam,
supaya kelak turunan ini jadi terlangkahi,
kita hanya berdua. Tak ada siapa-siapa.

Turunan ini betul terhampar bersih di muka,
ada bayang-bayang tapi biarkanlah, itu hanya canda anak-anak.
Kita hitung di antara rumah ke rumah,
seperti dulu waktu angin membantu kita
menepis angka.
Idah!

Tidak ada komentar: